novel Catatan Hati Seorang Isteri

Catatan Hati Seorang Isteri

Begitu sekelumit cerita Nita, yang cukup menggambarkan sosok lelaki itu sebagai bapak yang spesial dan amat dekat dengan anak-anaknya. Cerita-cerita Nita membuat saya diam-diam ikut menunggu perkembangan kondisi lelaki itu. Meski tentu tidak bisa mengalahkan debaran di hati Inge saat detik demi detik bergulir. Akankah sang suami tercinta bertahan dan melewati masa kritisnya yang 24 jam lagi?
Waktu terasa berjalan selambat butiran air yang jatuh satu-satu dari ketinggian, ketika akhirnya telepon berdering.

Pihak rumah sakit mengabarkan kondisi Taufik yang semakin memburuk.

Ketika keluarga datang, tampak alat perekam dan pompa jantung yang sudah dipasangkan. Dokter kembali memberi dua kemungkinan. Jika kondisi membaik, maka tindakan akan dilanjutkan. Jika sebaliknya, maka alat medis tersebut akan dilepas,

“Sebab itu berarti tubuhnya tidak kuat, bu.” Inge terlihat tabah menerima keterangan dokter. Sejak tiba, menurut Nita, adiknya terus mengaji. Surat yang dilantunkan adalah kesukaan Taufik, surat Ar- Rahman.

Fabi ayyi alaa i rabbikurnaa tukadzdzibaan…
Maka nikmat Aliah manakah yang kamu ingkari?

Mendengar dan menyaksikan betapa tenangnya Inge membacakan ayat satu demi satu, seluruh keluarga nyaris tak bisa menahan tangis. Tidak juga sepupu mereka yang seorang polwan. Sikap Inge yang bahkan masih bisa tersenyum dan menenangkan ya ng lain semakin membuat yang hadir bertambah-tambah sedih. Dan tepat, ketika ayat terakhir dari surat Ar Rahman dibacakan, Taufik mengembuskan napas terakhirnya, seiring tanda garis mendatar pada alat perekam jantung yang dipasangkan.
Allah!

2 x 24 jam.

Ternyata memang sesingkat itulah kebersamaan mereka dengan Taufik; suami, ayah, anak, menantu, dan ipar yang dicintai. Tangis keluarga pecah, satu persatu mendekati Inge. Perempuan berkacamata itu sebaliknya masih terlihat tenang, malah menabahkan sanak keluarga yang menangis saat merengkuhnya. Memberi mereka kalimat-kalimat yang me neduhkan. Meminta mereka semua untuk sabar.

Mata saya tak urung berkaca mendengar cerita Nita, sambil membatin.

Betapa tabahnya Inge. Betapa tawakalnya dia. Betapa hebat perempuan muda itu mengemas air matanya!

Sampai saat ini, tiga tahun sejak peristiwa itu, Inge masih terus menyimpan kenangan tentang almarhum Taufik dengan baik dan rapi. Kerap kali lontaran kenangan muncul dalam percakapan Inge dengan keluarganya. Meski mereka berusaha tidak lagi menyinggung-nyinggung tentang lelaki itu.

“Pernah Nita cerita, Mbak. Kepala Nita pusing kayak vertigo.
Langsung aja Inge menyambar, ‘Inge juga pernah begitu, sakit kepalanya. Terus dipijitin sama Taufik sampai hilang sakitnya…’ ”

Atau ketika keluarga menyantap sate kambing,

“Wah, ini makanan kesukaan Taufik, nih!”

Terkadang kalimat serupa lahir dari Jihan, terutama saat mereka ke Kebun Binatang atau saat me reka melewati lapangan bola,

“Jihan pernah diajak abi ke situ… terus main sama temannya abi.”

Kalimat yang diam-diam membuat air mata yang mendengar terasa tertahan di pelupuk. Siapa yang menduga kenangan-kenangan terakhir dengan ayahnya begitu melekat dalam ingatan si sulung? Padahal Nita bahkan tidak terlalu yakin apakah Jihan mengerti arti kepergian ayahnya, ketika mereka semua menjelaskan kepada Jihan bahwa mulai saat itu abi akan tidur di sana (sambil menunjuk ke arah gundukan tanah).

“Tapi Inge tidak pernah menangis selama prosesi?”

Nita menggelengkan kepala.
“Selama tujuh hari saya dan Ika (adik Nita yang lain) menemani Inge. Kalau bertemu kami pasang wajah biasa.

Baru ketika pulang saya dan Ika menangis, tidak kuat melihat sabarnya Inge…”

Hanya satu alasan yang mampu memberi kekuatan pada seorang ibu, apa pun kondisinya: Anak-anak.

Nita mengiyakan.

Sepertinya memang itulah alasan kuat kenapa Inge berusaha tegar menghadapi kepergian Taufik. Betapapun hatinya menangis, betapa pun gamang karena sejak itu dia akan hidup dan membesarkan anak-anak tanpa ayah. Tapi anak-anak masih kecil. Si bungsu malah masih menyusu.
Dan seorang ibu yang baik mengerti betul betapa pentingnya ASI ba gi anak-anak, dan betapa mudahnya situasi batin ibu mempengaruhi kelancaran keluarnya ASI.

Hhh… saya lagi-lagi hanya bisa menarik napas dalam.
Beberapa detik saya dan Nita hanya terdiam. Barangkali membayangkan bagaimana jika hal serupa terjadi pada kami masing-masing. Akan kuatkah?

“Dan Inge tidak pernah menangis?” Nita, perempuan berkulit hitam manis itu tidak langsung menjawab.Barangkali mengajak ingatannya kembali ke hari-hari yang memilukan itu,

“Hanya sekali, Mbak… sebulan setelah meninggalnya Taufik. Ya… setelah sebulan, dan hanya sekali itu.”

Dalam kenangan cinta: 22 Februari 1974 –
Taufik Rahman 17 Maret 2005

Catatan 9
Dua Pasang Suami Istri


“Dalam keadaan cacat fisik dan kekurangan materi, apakah yang menjadi sumber kebahagiaan keduanya?”

Dua peristiwa.
Dua pasang suami istri yang tidak saya kenal. Satu pertemuan.

Dan seumur hidup saya, kemungkinan besar hanya sekali itulah saya bersinggungan dengan keduanya. Itu pun tidak lebih dari sepuluh menit. Tapi ikatan kuat di hati setiap pasangan suami istri itu, begitu menyentuh.

Gunung Sahari, 22 Oktober 2006

Saya bertemu dengan pasangan suami istri ini saat bersama teman-teman Rumah Cahaya Pusat melaksanakan kegiatan tahunan kami.

Setelah selama sebulan mengumpulkan sumbangan dari teman-teman melalui milis dan biog, tiba saatnya menyalurkan amanah yang diterima.

Persis seperti tahun sebelumnya, beberapa hari menjelang hari raya Iedul Fitri kami menyusuri jalan-jalan Jakarta. Dari Depok, Buncit, Saharjo, masuk ke Manggarai, terus menuju Jalan Proklamasi, mengarah ke Mangga Dua, Tubagus Angke dan berakhir di Grogol, kemudian kembali dengan rute yang hampir sama.

Sebenarnya paket dalam kantung plastik hitam yang kami salurkan tidak terlalu banyak. Isinya pun sederhana saja, terdiri dari sirup, indomie, biskuit kaleng, astor, kurma dan susu kaleng, ditambah sedikit uang dalam amplop.

Tetapi saya dan sahabat-sahabat dari rumah cahaya berusaha untuk memilih betul target yang menerima, agar tidak salah sasaran ke pengemis musiman yang hijrah berbondong-bondong memenuhi ibukota setiap lebaran.

Hari telah gelap ketika saya dan teman-teman melewati pemandangan yang tidak biasa: lelaki tua yang mengayuh sepeda bututnya pelan-pelan. Di belakangnya duduk sang istri. Punggungnya penuh oleh buntalan barang yang dihampirkan dengan sehelai kain batik.

Yang menarik adalah tangan si istri yang dipenuhi kantung plastik tapi berusaha keras meraih pinggang suaminya.Meski kadang terlepas karena mengatur keseimbangan.

Sepeda melaju tenang. Si bapak terlihat hati-hati. Sekilas pandang, saya yang melintas, bisa melihat wajah si bapak tua yang berkilat oleh keringat, seolah telah menempuh perjalanan jauh.

Beberapa kejap tatapan saya masih terpaku pada tangan kurus milik ibu tua yang seperti sebelumnya berusaha meraih pinggang si bapak.

Momen sederhana yang terasa penuh makna dan menyedot perhatian saya. Dan kenyataan pakaian keduanya yang lusuh, atau sandal jepit sekarat yang mereka kenakan menjadi tidak penting.

Sebelah tangan kurus yang jatuh bangun berusaha bertaut pada sosok tua si bapak. Romantis!